Kultural-Sastra dan Peradaban Manggarai Raya Masa Depan dalam Sekumpulan Cerita
Kultural-sastra adalah sebuah pilihan jalan membangun peradaban. Ia mengarahkan
kehendak terbentuknya sebuah peradaban berbasis nilai-nilai kebudayaan lokal
yang mengutamakan kemanusiaan seperti solidaritas, berbela-rasa, berlaku adil,
memberi respek pada alam dan sesama, dan prinsip-prinsip kemanusiaan lain yang
pada pokoknya berintensi merawat keadaban bersama. Dalam pemaknaan demikian,
ada ruang terbuka untuk proses transformasi sosial menuju bentuk peradaban yang
dicita-citakan. Dalam penjelasannya kemudian, proses ini mendasarkan dirinya
pada dua skema berbeda yang saling melengkapi dalam keserempakan. Pertama,
transformasi sosial yang “pulang” dan mengakar pada nilai-nilai budaya lokal. Kedua,
transformasi sosial yang dalam perjalanannya—lewat jalan diskursus (discourse)—sekaligus menggali lebih
dalam, membongkar, menjungkirbalikkan, mempertanyakan, menggugat, dan
mendialogkan kebudayaan lokal untuk mencari bentuk terbaiknya. Dan dalam
keduanya, sastra dan kesusastraan—dalam segala bentuk dan karakternya—menjadi
media sekaligus medan artikulasinya.
Jika diumpamakan secara ambisius, maka kultural sastra semacam saling
melengkapi antara roh dan tubuh, ide dan materi, nilai dan instrumen. Rohnya
adalah material dengan citarasa kebudayaan lokal yang mengutamakan kemanusiaan.
Sedangkan tubuhnya adalah kesusastraan dalam segala rupa dan karakternya.
Namun demikian, barangkali tugas membangun peradaban yang dipikulkan ke
pundak kesusastraan terlalu menindas kemerdekaannya. Atau barangkali optimisme membangun peradaban yang
digantungkan seperti lencana di dada kesusastraan terlalu ambisius. Bisa jadi
muncul pemikiran demikian. Namun mengapa sastra dan kesusastraan? Untuk
pernyataan atau pertanyaan yang pertama, perdebatan tentang kemerdekaan sastra
(soal kreativitas yang menolak belenggu-belenggu maksud tertentu, misalnya,
belenggu pesan politik), seperti halnya perdebatan tentang kemerdekaan seni (seperti
saat Manifes Kebudayaan tahun 1963, meski dengan konteks yang agak berbeda), hampir
pasti akan berseliweran dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Namun, ketika
pesan atau diskursus yang diselipkan di tiap celah bahasanya memiliki intensi
membangun peradaban yang lebih baik, kesusastraan tidak punya alasan untuk
menolak untuk mengemban tugas itu. Lalu untuk pernyataan atau pertanyaan kedua,
kesusastraan punya lebih dari cukup ruang dan pengaruh untuk mewujudkan
peradaban yang lebih baik.
Lepas dari itu, bisa jadi pertanyaan lain akan mampir kemudian. Misalnya,
apa yang sesungguhnya ingin dipengaruhi melalui kultural-sastra? Atau lebih
sederhana, apa soalnya hingga kesusastraan pun mesti turun tangan? Dalam
konteks Manggarai Raya (bahkan Indonesia), jika disepakati, maka soal paling
substansial, krusial, dan mendesak untuk dicari jalan
pemecahannya adalah mentalitas (mentality).
Dalam nada yang pesimis, soal mentalitas serupa benang kusut yang diikat dan
mengikat-diri dengan satu atau berbagai hal lain di seputarnya. Jika demikian,
maka jelas ini memang bukan perkara mudah. Tetapi tidak lantas berarti tidak
mungkin diurai menjadi sebentuk yang mempesona. Dalam nada yang lebih optimis—membawa
serta semangat Kongres Pemuda Manggarai Raya 2014—serupa mengurai benang kusut
soal, kehendak untuk memperbaiki soal itu bisa dimulai dengan menelusuri
kembali rute yang sama dengan asal-muasal soal itu sendiri: mentalitas. Dalam
penjelasannya, “mentalitas” melembaga sebagai mentalitas melalui serangkaian
proses panjang, lama, dan melibatkan perangkat pengetahuan, bahasa, wacana,
kurikulum, aturan, hukum, kebijakan, klaim, stereotipe, dan seterusnya.
Rangkaian itu memang rumit dan kompleks. Namun, sekali lagi serupa mengurai
benang kusut, pembongkaran dan penjungkirbalikan atas mentalitas tadi bisa
dilakukan melalui rute yang sama: pengetahuan, bahasa, kurikulum, aturan,
hukum, kebijakan, dan stereotipe.
Dalam skema demikian, kesusastraan bisa menjadi pintu masuk sebab ia,
sekali lagi, punya ruang dan pengaruh yang lebih dari cukup untuk jadi media
produksi pengetahuan, bahasa, wacana, nilai-nilai, norma-norma, yang kemudian
mempengaruhi hukum, kebijakan, stereotipe, dan seterusnya. Dengan cara itu,
mentalitas lama yang mengkhianati kemanusiaan dapat mulai dibongkar dan
dijungkirbalikan satu-persatu melalui pembenturan-pembenturan,
perbandingan-perbandingan, dan pengkontrasan dengan mentalitas baru yang ingin
diproduksi dan kemudian ditanamkan dalam-dalam.
Dan dalam konteks Manggarai Raya, agar punya keintiman psikologis dan
sosiologis yang mencengkram, seluruh perangkat kebudayaan lokal Manggarai—dengan
banyak nilai positif yang terkandung di dalamnya, meski memang banyak juga yang
sekaligus mesti diperdebatkan—didorong untuk menjadi material produksi
pengetahuan, bahasa, wacana, nilai-nilai, norma-norma, untuk kemudian
mempengaruhi hukum, kebijakan, stereotipe, dan seterusnya. Sembari, di lintasan
yang sama, melihat peluang-peluang yang tersedia untuk dalam sekali gerak juga sekaligus
menggali lebih dalam, membongkar, menjungkirbalikkan, mempertanyakan,
menggugat, dan mendialogkan sejumlah pengetahuan, bahasa, wacana, nilai-nilai,
norma-norma dalam kerangka membangun peradaban dengan bentuk kebudayaan dan
mentalitas terbaik. Dan persis di persambungan itu, sastra menjadi medan
sekaligus media artikulasinya. Itulah kultural-sastra.
Memang, barangkali agak sulit membayangkan korelasi antara mentalitas dan
kultural-sastra. Tetapi kitab suci agama-agama bisa jadi contoh terbaik ketika
di sebuah masa yang panjang berhasil mengarahkan kehendak masyarakat (adat)
untuk mengubah mentalitasnya (meski ini bisa diperdebatkan). Dan dalam cara
kerja demikian, kitab suci menjadi begitu hegemonik-governmental karena segala produksi pengetahuan, wacana,
nilai-nilai, norma-norma, perangkat aturan, kebijakan, hukum-hukum, dan
institusi semacam agama mengarahkan kitab suci sebagai sesuatu yang sakral,
tiang patok utama segala panduan cara hidup. Lewat jalur dan pola demikian,
tidak heran Kitab Suci agama jadi begitu digdaya. Dan perlu diingat
lekat-lekat, kitab suci dalam banyak segi adalah sebuah karya sastra.
Dalam cara pikir demikian, yang harus dikerjakan kemudian adalah
mengskematisasi kultural-sastra menjadi sebuah strategi yang hegemonik-governmental. Namun pertama-tama,
kultural-sastra harus mulai diproduksi secara produktif terlebih dahulu. Dalam
konteks Manggarai Raya, orang muda Manggarai Raya mesti mengambil inisiasi
melakukan itu. Argumentasinya bisa jadi begini, Manggarai Raya sebenarnya punya
banyak penulis muda yang potensial untuk menggali dan mengangkat kembali segala
sumber daya sastra lokal yang banyak terkubur. Namun, gerak yang dilakukan
selama ini cenderung sendiri-sendiri, saling terlepas satu dengan yang lainnya.
Jikapun ada yang bergerak bersama, itu belum memantik efek governmental. Oleh karena
itu, gerakan
kultural-sastra ini menjadi momentum tepat untuk memulai gerakan bersama itu
dengan harapan bahwa efek governmental
akan menyusul secara otomatis.
Kerja berikutnya adalah mendesak karya-karya kultural-sastra yang
dihasilkan penulis-penulis muda tadi menjadi bagian dalam semua diskursus (discourse) di segala ruang publik yang tersedia. Ini adalah cara efektif
untuk menjadikan kultural-sastra sebagai keresahan, pergumulan, agenda, dan
pekerjaan besar bersama semua pihak di Manggarai Raya.
Selanjutnya, mendorong karya-karya kultural-sastra mengambil bagian dalam berbagai
sistem pendidikan yang tersedia di seluruh pelosok Manggarai Raya. Dan jika ini
dikerjakan secara sistematis, maka kultural-sastra akan membawa efek yang sangat
hegemonik-governmental pada waktunya. Lebih jauh, bayangan akan sebuah
perubahan mentalitas yang dimulai dari fusi antara budaya dan sastra semakin
mendekati kenyataan. Dan jika mentalitas berubah, maka peradaban yang
mengutamakan kemanusiaan dapat lebih diarahkan.
Jika demikian, maka membangun dan menentukan peradaban Manggarai Raya masa
depan yang mengutamakan kemanusiaan bukan lagi sesuatu yang abstrak-imaginer. Namun
sebuah keniscayaan.
Repost dari Dokumen TOR Kultural-Sastra
Komentar
Posting Komentar