Jurnalisme Perubahan: Menggagas dan Mengerjakan Perubahan Sosial


Pengantar: Kritik atas Praktik Jurnalistik


Jurnalisme hari ini adalah sebuah gagasan yang sedang ditantang cara berada dan orientasinya. Ini berangkat dari kecenderungan banyak praktik jurnalistik di media-media mainstream yang lebih banyak hadir hanya untuk melayani kebutuhan pihak-pihak di lingkaran kuasa ekonomi-politik. Tidak heran, bentuk-bentuk karya jurnalistik yang lahir dari cara berada dan orientasi seperti ini tidak lebih dari sekedar sekumpulan reportase, sekumpulan laporan yang menguntungkan pihak-pihak tersebut. Angkat contoh: laporan tentang pertumbuhan ekonomi, indeks harga saham, nilai tukar rupiah, peluang-peluang investasi, ekspor-impor, dan capaian-capaian pembangunan fisik. Ada juga laporan-laporan lain yang mengulas soal-soal politik, budaya, dan lain-lain. Namun kesemuanya hadir dalam bingkai kepentingan ekonomi-politik pihak-pihak tadi dan sekaligus kepentingan hidup media yang dalam hal ini sudah terlanjur menjadi sebuah industri.

Untuk segala yang disebut industri, perhitungan laba-rugi ekonomis selalu menjadi rohnya. Dan dalam hubungannya dengan industri media (jurnalistik), konsekuensinya terletak pada soal “keberpihakan”. Tidak banyak media yang secara sungguh-sungguh menghasilkan karya-karya jurnalistik yang berpihak pada, meminjam bahasa Ashadi Siregar, “konteks kepublikan”. Sebab, perhitungan laba-rugi cenderung menjauhkan media dari kepentingan publik. Jikapun ada yang menyatakan keberpihakan pada kepentingan publik, maka tidak ada yang pernah benar-benar total. Seperti hanya ada glass wall tembus pandang yang memisahkan kepentingan idealisme-kritis dan kepentingan komersial media. Keduanya selalu berkompromi. Padahal, dalam skema demokrasi, pers (media) dan jurnalismenya yang penuh kuasa itu adalah pilar keempat yang didesain menjadi pengawas (watchdog) yang independen atas seluruh cara hidup sebuah negara.



Jurnalisme Alternatif


Kritik atas pola media mainstream itupun kemudian melahirkan jurnalisme alternatif. Ada jurnalisme warga (citizen journalism), meski ini memang harus diperiksa kembali sebab praktiknya cenderung menghasilkan laporan yang hanya mengandalkan kecepatan (instan) tanpa kedalaman informasi. Ada juga bentuk lain seperti jurnalisme empati (compassion journalism). Jurnalisme macam ini digagas dengan posisi keberpihakan pada “korban”. Misalnya, untuk isu-isu yang sensitif seperti HIV/AIDS.


Kedua pola jurnalisme ini dan barangkali juga yang lainnya, meski tidak luput dari kelemahan di sana-sini, sebenarnya hendak menunjukkan bahwa harus ada jurnalisme alternatif yang mulai dikerjakan untuk mengatasi limitasi jurnalisme media mainstream. Terutama, limitasi soal “konteks kepublikan” yang seringkali diabaikan.


Jurnalisme Perubahan


Dalam kerangka seperti itu, gagasan “jurnalisme perubahan” (transformative journalism) dilahirkan sebagai sebuah tawaran alternatif. Secara sederhana, roh jurnalisme perubahan ini bertumpu pada kesadaran bahwa “konteks kepublikan” harus selalu diperjuangkan sebagai yang utama. Perjuangan yang dimaksud adalah perjuangan membela survival, wellbeing, dan dignity publik. Selanjutnya, kerja-kerja pembelaan tersebut dipandang memiliki potensi yang kuat untuk mengubah (to transform) kondisi-kondisi ketidakadilan, penindasan, pemiskinan, perampokan sumber-sumber daya (resources grabbing), peminggiran (eksklusi dan marginalisasi) yang merugikan kepentingan publik. Dan perjuangan itu secara konkret dirumuskan dalam karya-karya jurnalistik.


Jurnalisme perubahan dalam desainnya mengusung nilai-nilai (values) keadilan, perdamaian,  solidaritas kolektif, dan emansipasi. Itu deretan nilai-nilai yang harus diperjuangkan dan disuarakan secara kritis terus-menerus. Dan penting untuk dikatakan di sini, jurnalisme perubahan menyatakan keberpihakannya pada kepentingan publik atas dasar nilai-nilai tadi.


Basis jurnalisme perubahan ini adalah masyarakat yang berbasis komunitas. Jika sudut pandang (angle) yang dipakai media mainstream selama ini lebih banyak menjelaskan sudut pandang elit, maka jurnalisme perubahan hadir dengan sudut pandang akar rumput dari sisi kelompok-kelompok masyarakat rentan. Singkatnya, jurnalisme perubahan menampilkan sudut pandang tandingan (counter hegemony) untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam atas realitas. Untuk memperkuat itu, jurnalisme perubahan mestilah lahir dari dan dikerjakan oleh masyarakat-komunitas sebab masyarakat-komunitaslah yang mengalami pergumulan dalam realitas. Dalam skema itu, secara kritis masyarakat-komunitas bicara dan kemudian menentukan hidup dan nasib mereka sendiri. Lalu dari situ, ruang-ruang diskusi yang dibuka jurnalisme perubahan tersebut diharapkan dapat membangun kesadaran kritis-kolektif tentang bagaimana seharusnya hidup berbangsa-bernegara dilakukan. Sembari di saat yang sama, jurnalisme perubahan yang dikerjakan itu mendesak para pengambil kebijakan agar lebih berpihak sungguh-sungguh pada kepentingan publik. Dan jika demikian, maka transformasi adalah menjadi niscaya.***


Komentar

Postingan Populer