Gerimis

Semua berawal dari gerimis. Gerimis yang pesimis dan sinis terhadap orang-orang sepertiku. “Pelit dan plin-plan”, begitu ejekku tiap kali gerimis jatuh. 

Itu pendapatku. Tak peduli seberapa banyak orang yang satu pendapat denganku. Pun seberapa sedikit mereka yang menganggapku terlalu belia untuk berpendapat, Aku tidak peduli. Sebab barangkali karena orang-orang di sekitarku pun tidak menyimpan peduli terhadapku. Apalagi gerimis. 

***


Aku masih tertahan di halte ini. Halte yang sama seperti hari-hari kemarin. Masih sama seperti ketika Aku pertama kali menjadi loper koran salah satu harian terkemuka di kota ini. Saat itu, gerimis memberi sambutan. Dalam sambutannya Aku menangkap pesan bahwa hidup tidak selalu hujan yang deras atau cerah matahari. Hidup terkadang seperti berada di tengah-tengah. Abu-abu. Kabur. Seperti halnya gerimis. Tidak pernah tegas. Tidak pernah memilih menjadi sebuah hujan yang lebat atau cerah terang sekalian. 
 
Dan seperti biasa, Aku menunggui gerimis sambil menikmati seluruh isi Koran yang masih menumpuk di pangkuanku. Siang ini, sepulangnya dari sekolah, Koran yang kujajakan agak sepi pembeli. Tidak seperti minggu kemarin saat isu kenaikan BBM menguasai hampir seluruh headline pemberitaan di berbagai media. Termasuk Koran yang sedang kupasarkan ini. Aku sampai bosan. Bosan dengan seluruh kondisi demikian yang sepertinya tidak rela berpihak kepada orang kecil sepertiku. Aku, seperti kebanyakan orang, memutuskan dengan tegas menolak rencana pemerintah untuk menaikkan BBM. Tetapi percuma saja sebab Aku Cuma sampai pada tahap menolak tanpa menawarkan jalan keluar apapun. Namun demikian, Aku sangat berharap bahwa sebagian kakak mahasiswa (yang terus-menerus turun berdemo itu) punya pemikiran yang lebih luas dari bocah kelas tiga SMP sepertiku untuk menawarkan jalan keluar. Paling tidak, itu bisa mengurangi dampak kenaikan BBM jika nanti kebijakan tersebut tetap dijalankan pemerintah. 


Tetapi mengapa terlalu berharap dari sebagian mahasiswa itu? Aku pun kadang ragu, namun tidak ada pilihan lain yang tersisa. Karena sepertinya, dari berita-berita yang kubaca, para wakil rakyat di DPR dan pejabat Negara lainnya terlalu sibuk menyelamatkan diri masing-masing dari penyelidikkan kasus-kasus korupsi yang banyak merugikan negara ini. Benar-benar tidak ada pilihan. 

Dan seperti yang sudah kutebak sebelumnya, para mahasiswa itupun tidak mampu membendung kenaikan BBM. Mereka sama sekali tidak dihiraukan. Seperti sekelebat angin lalu. Bagai riak kecil di tengah samudera Hindia. 

***

Gerimis, masih tetap memainkan nada-nada kesukaannya sambil sesekali berimprovisasi dengan dinamika. Tik, tik, tik. Lalu tiktiktik. Rintik-rintik. Bau aspal basah sedikit menyengat. 


Aku masih sendirian di halte itu. Sejurus kemudian, Aku terhenyak saat ada yang berbicara agak keras. Aku menoleh, ternyata dia bicara padaku sambil mengarahkan telunjuknya pada lembaran Koran yang sedang kubentangkan sejak tadi. 

“Ada berita apa aja?” nada suaranya agak diturunkan.
“Ini Om, berita utamanya tentang pembunuhan berantai Om. Korbannya sebelas Om. Ada yang dimutilasi Om!”, Aku sedikit mendramatisasi karena kulihat air mukanya sangat serius. Ia pasti sangat tertarik, batinku.


“Korbannya ada yang anggota DPR gak?”, ujarnya sambil menerima koran yang kutawarkan.
“Kalo gak ada, Om gak mau beli”, tandasnya seraya memelototi Halaman Utama tanpa sedikitpun menoleh. 


Aku menuduhnya bercanda. Tetapi lamat-lamat Aku berubah sangka. Ia serius. 


“Tapi ada yang artis koq Om”, Aku memberinya pilihan lain.
 

Ia tidak berbicara sedikitpun. Tetapi langsung merogoh dompetnya, mengeluarkan tiga lembar uang ribuan. Setelah Aku menerimanya, ia kemudian mengambil posisi agak jauh dan mulai tenggelam dalam halaman demi halaman. 

Tidak berselang lama, segerombolan anak SMA tampak berlari kecil ke arah halte ini sambil beberapa kali melindungi kepala mereka dari gerimis. Tas sekolah masing-masing jadi korban. Tanpa basi-basi, dan sebelum Aku sempat menawarkannya, salah seorang dari mereka langsung membeli koranku. 


“Milan* menang Mas, dua kosong”, pancingku ketika dia langsung menyambar lembar Olah Raga sesaat setelah memberiku uang. Dia menggelar sekilas senyum. Sebuah senyum kemenangan yang kemudian disusul beberapa kali umpatan kecil dari sebagian temannya. Entah umpatan itu bermakna kemenangan atau kekalahan, Aku kurang begitu menaruh perhatian.
 

Aku sudah hafal betul kebiasaan anak-anak yang lebih tua beberapa tahun dariku ini. Geliat sepak bola liga-liga dunia lebih memiliki daya tarik hebat daripada soal visi dan misi calon gubernur yang kedengarannya sangat membuai telinga. Besaran jumlah transfer seorang Cristiano Ronaldo ternyata lebih menyita emosi dan mimpi mereka jika dibandingkan dengan besaran anggaran pendidikan yang ditawarkan calon gubernur mereka. Ironis. Bahkan menyedihkan.

***

Gerimis sepertinya kini mulai lelah plin-plan. Ia Berhenti. Hiruk-pikuk di jalan pun berangsur-angsur sesak kembali. Ada banyak yang datang dan pergi. Namun Aku masih cukup setia menghangatkan separuh tempat duduk di halte ini. 


Dari sekian banyak yang datang dan pergi, tidak sedikit yang membeli koranku. Pembeli-pembeli ini, yang jika kuamati dengan cermat, memiliki satu kesamaan kecil. Mereka biasanya cenderung lebih memilih untuk menikmati berita-berita pada kelompok olah raga, life style, dan entertainment. Cuma sehitungan jari saja yang kelihatan agak terpaksa memilih menengok sebentar pada halaman berita-berita utama, lalu kemudian dalam hitungan beberapa detik mengalihkan pandangannya pada halaman-halaman lain.
 

Berita-berita utama pada koran ini nyaris senasib dengan banyak tayangan televisi nasional akhir-akhir ini. Membosankan. Berita-berita yang tertulis lebih banyak menggambarkan situasi miris masyarakat. Soal-soal ketidakadilan dan ketidak-beruntungan paling sering muncul. 

Namun Aku coba memahami dalih yang mungkin digunakan oleh segenap jajaran redaktur Koran ini. Bisa saja mereka pun tidak punya banyak pilihan. Mereka, lewat Koran ini, hanya mencoba menjadi semacam cermin. Apa yang terjadi di masyarakat, itulah yang kemudian mewujud dalam tulisan-tulisan di sekujur Koran ini. 

Aku menghela napas panjang yang agak dalam. Lalu apa yang kucemaskan? Apa yang mendesakku gelisah? Nalarku kupaksa untuk menemukan kesimpulan. 

Bukan tidak mungkin kondisi miris masyarakat yang kerap muncul di koran menjadikan orang-orang di sekelilingku, termasuk Aku, menjadi lebih sensitif. Lambat laun malah terjerumus dalam labirin yang penuh sesak dengan rasa pesimis dan sinis terhadap hidup. Entah apa yang terjadi setelah itu, yang pasti hidup seperti itu tidak bisa kuterima.

Namun sialan! Lagi-lagi pesimis dan sinis, gerutuku. Sebagaimana gerimis.

***

Gerimis sudah sejak tadi menghilang; meresap tanpa bayangan. Namun nada-nadanya masih sayup-sayup menggenangi kepalaku. Mengisi semua ruang kosong di pikiranku. Percikan halusnya seakan menggantung tepat di depan bola-bola mataku. Sepersekian detik kemudian, semuanya bagai menghitam gelap. Berakhir begitu saja. Berakhir karena gerimis. Lagi-lagi gerimis. 



(Surabaya, 7 Maret 2009)

 
Catatan:
* AC Milan  lengkapnya, sebuah klub sepak bola dengan sejarah dan prestasi hebat yang bermarkas di kota Milan, Italia.

Komentar

  1. Mantap kak cerpennyaa... Setuju e sa su bosan baca koran. Sejak 2015 saya berhenti menonton berita dan mulai hari ini berhenti baca koran dan koran online. Malas..
    btw sa mau protes pas bilang milan tim dengan prestasi hebat. Tapi pas sa liat tahun bikinnya ini cerpen 2009 okelah. Juve masih lebih hebat kkalau sekarang *dilempar

    BTw ini sudah juni dan blognya kakak belum diisi lagi :D

    BalasHapus
  2. Jangan blg mantap saja kh. Hahaha. Ksh kritik yg detail kh Jen. Biar ada perspektif lain.

    nehorampon, ia memang Juve sedang berjaya skrg meski kmrn kalah di finalchampions. tapi Milan akan kembali. Niscaya. Siap-siaplah Juve. Hahaha.

    Ia ini sy mulai menulis lagi. Terlalu lama tidak menulis dan isi blog ternyata tidak enak.

    Nehorampon lagi, sy liat ko sdh sukses bangun karaktermu e. itu khas dan berani utk penulis NTT apalagi Manggarai. Mantop!

    Thanx sdh mampir e.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer