Revolusi Orang Muda

“Berikan aku 1000 orang tua,
niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya.
Berikan aku 10 pemuda,
niscaya akan kuguncangkan dunia”
--Bung Karno--


Sejarah selalu menuturkan cerita-cerita tentang orang muda. Persisnya tentang bagaimana mereka selalu selalu terlibat dan mengambil peran besar dalam proses-proses penting hidup dan setengah matinya negara ini. Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, Revolusi 1998 akan menuntun kita menuju cerita-cerita itu. Dalam lintasan itu, orang muda mengambil bagian dengan caranya sendiri—bahkan dengan nyawa sebagai taruhannya—untuk sebuah cita-cita kebaikan bersama, lepas dari segala macam dominasi.


Etos Revolusioner

Setiap masa punya perangnya sendiri, setiap sejarah punya pemenangnya sendiri, dan setiap generasi punya revolusinya sendiri. Untuk yang dikatakan terakhir, orang-orang muda seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan para pejuang Revolusi 1998 di masanya adalah mereka-mereka yang berani dengan perasaan merdeka melakukan revolusi. Memang tantangan revolusi masing-masing generasi itu khas. Namun, prinsipnya hampir sama. Seluruh bentuk dan artikulasi revolusi mereka saat itu memuat dengan tegas sikap menolak ditindas, dikuasai, dieksploitasi, dan diperbudak di tanah sendiri.Namun perlu dicetak tebal-tebal bahwa revolusi pada dasarnya menuntut satu syarat penting dan utama. Itu adalah etos revolusioner. Mereka yang memilih jalan revolusi punya syarat itu. Idealisme, sensibilitas sosial, rasa memiliki bangsa, anti penindasan, pantang menyerah, rela berkorban adalah deretan manifestnya. Tanpa itu, revolusi berjalan timpang. Suram.

Dalam alur revolusi yang khas dari generasi ke generasi, etos revolusioner diam-diam bergerak membentuk cara berada baru sebuah generasi. Ia merangkum prinsip, pandangan hidup, dan nilai yang dianut sebuah generasi revolusioner.


Panggilan Revolusi

Dalam perjalanan kebangsaan yang belum juga tiba di kondisi idealnya, krisis multidimensi-sistemik justru makin mengakar-menubuh dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya. Agenda reformasi yang sudah berlangsung selama 16 tahun baru sebatas perombakan yang sifatnya institusional-kelembagaan, praktik-prosedural. Baru sebatas itu. Reformasi belum sampai membentuk mentalitas manusia Indonesia yang—paradigma, konstruksi berpikir, budaya politik, dan nalar kepengaturannya—dibaktikan sepenuhnya untuk memperjuangkan kebahagian hidup bersama. Persis di situ soalnya, ketika perombakan institusional-prosedural tersebut tidak diikuti perombakan mentalitas manusia yang mengoperasikannya, cita-cita Proklamasi Indonesia sampai kapanpun akan tetap jadi utopia.

Sebagaimana di generasi-generasi sebelumnya, soal-soal kebangsaan yang tengah dihadapi adalah artikulasi lain dari panggilan sejarah. Lebih tajam lagi, panggilan revolusi. Itu panggilan yang langsung menggetarkan sanubari para pejuang kemerdekaan dan keadaban bangsa ini dulu. Kini, panggilan itu kembali diserukan dan langsung menunjuk kepada orang muda generasi ini untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian terbaik, secepat dan sesegera mungkin: revolusi! Namun bukan revolusi fisik, melainkan revolusi mentalitas.

Jalan revolusi ini dipilih karena bangsa ini butuh penyelesaian yang radikal, menyeluruh, dan langsung menghujam jantung soal. Hanya revolusi yang bisa melakukan itu.


Revolusi Orang Muda

Tulisan ini adalah pekik revolusi yang diintensikan secara serius kepada puluhan juta jiwa orang muda bangsa ini. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. Yang oleh sistem politik dan Pemilu lebih banyak diakomodasi sebagai followers dan voters. Yang oleh pembangunanisme dan statistik resmi negara hanya diperlakukan sebagai angkatan kerja. Yang oleh sistem pendidikan kita hanya dicetak sebagai agen pembangunan fisik. Yang oleh stereotipe-stereotipe sosio-kultural lebih banyak dikerdilkan sebagai yang junior, kurang bijaksana, dan belum berpengalaman. Yang oleh negara dan segala relasi kuasa di seputarnya “dijebloskan” menjadi generasi ruang tunggu: tunggu lulus PNS, tunggu dapat jabatan, tunggu dikaderkan, tunggu proyek, dan seterusnya.

Di saat hampir bersamaan, pekik revolusi itu seperti memanggil kembali ingatan tentang amanat Bung Karno bahwa revolusi belum selesai. Juga seperti menegaskan pekik para pejuang Revolusi 1998 ketika menumbangkan otoritarianisme Orde Baru bahwa revolusi sampai mati! Revolusi memang belum purna, masih akan berlanjut. Dengan sinergi antara etos revolusioner dan kesadaran akan panggilan revolusi, orang muda setidaknya bisa melakukan empat hal berikut, yaitu:

Yang pertama, mendorong revolusi diri dilakukan organisasi-organisasi kepemudaan yang kini mengalami disorientasi di hampir seluruh dimensi dan cara beradanya. Ini dilakukan mengingat potensinya yang begitu besar bagi upaya merawat keadaban publik. Kini, banyak organisasi kepemudaan lebih memilih menjadi alat kuasa-politik yang menghamba pada kepentingan partai (underbow) atau kelompok tertentu, lebih mengutamakan kepentingan primordialnya, introvert, cenderung rekreatif, dan kehilangan roh pengabdiannya.

Dalam konteks itu, peran dan fungsi organisasi kepemudaan harus direposisi. Tetapi pertama-tama dimulai dengan revolusi diri mentalitas orang-orang muda di dalamnya. Organisasi harus dioperasikan orang-orang muda yang mengimani etos revolusioner.  Sehingga pada temponya, ia diharapkan menjadi independen, tidak menghamba pada kepentingan partai atau kelompok tertentu, dan seutuhnya membaktikan diri untuk kebaikan bersama.

Yang kedua, memberanikan orang-orang muda yang menjadi bagian dari mesin birokrasi dan sistem layanan masyarakat untuk menjalankan revolusi diri. Sistem birokrasi dan layanan masyarakat yang berbelit-belit disertai pungutan-pungutan liar di setiap levelnya sangat mengeksploitasi masyarakat kecil. Bahkan cenderung menindas dan memarginalkan.

Dalam sistem demikian, peluang revolusi diri tetap tersedia di tangan orang muda yang mengoperasikannya. Konkretnya, revolusi diri tetap dapat dilakukan dengan cara menolak tunduk sebagai antek birokrasi dan sistem yang eksploitatif-menindas itu. Birokrasi dan sistem layanan masih dapat dijalankan tanpa ”tipu-tapu” pungutan yang menghisap.

Yang ketiga, memberanikan orang-orang muda di kampus untuk melakukan revolusi diri. Sejatinya, kampus dan segala perangkat di dalamnya menjadi sumber pengetahuan dan ide-ide pembebasan bagi rakyat. Namun, nalar liberal telah “memenjarakan” mereka hanya sebagai calon tenaga kerja, angkatan kerja. Akibatnya, mentalitas yang tercipta kemudian adalah mentalitas followers yang “selalu menghamba pada tuan” dan mentalitas introvert yang lebih banyak mengurung diri di menara gading kampus.

Karena itu, revolusi diri didorong pada upaya merevitalisasi mentalitas pemimpin yang siap-rela membebaskan rakyat dari penderitaan-penderitaannya. Dalam operasinya kemudian, hal itu dilakukan dengan cara selalu bergumul dengan persoalan rakyat, mencari jalan keluar, dan menempatkan kebaikan bersama sebagai prioritas puncak. 

Yang keempat, memberanikan orang-orang muda yang selama ini dikerdilkan stereotipe-stereotipe sosio-kultural untuk mengartikulasikan revolusi diri. Relasi kuasa lewat produksi wacana yang menempatkan orang muda sebagai yang junior, belum berpengalaman, dan kurang bijaksana harus dilawan dengan membuktikan diri sebagai aktor perubahan sosial. Dalam pembuktian itu, orang muda revolusioner bisa memanfaatkan semua ruang yang tersedia untuk terlibat memperjuangkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian budaya.

***

Akhirnya, hanya ada satu kata: revolusi! Revolusi orang muda. Dimulai dari diri sendiri dan kemudian melipatgandakannya sebagai gerakan bersama. Tidak ada tawar-menawar lagi. Sebelum semuanya terlambat. Sebab, orang muda adalah generasi yang selalu dinantikan sejarah untuk ditulis dan dikenang turun-temurun karena keberaniannya memenuhi panggilan revolusi.*

Komentar

Postingan Populer