Kota Orang-orang Kalah

Ini adalah kota orang-orang kalah. Kalah perang, kalah judi, kalah tarung, kalah modal, kalah politik, kalah apa segala. Pokoknya kalah. Tetapi jangan pernah membayangkan orang-orang kalah ini seperti ketika pertama kali kata kalah berkelebat di pikiranmu. Awas! Pikiranmu cenderung suka mempersempit kemungkinan. Serupa-rupa tidak ada kemungkinan lain. Itu seperti ingin membungkus cakrawala hanya dalam satu genggaman. Jadinya ceroboh. 

Orang-orang kalah itu, tanpa perlu pemerintah atau parlemen, membangun kota dengan gempita yang sulit ditandingi. Memang sulit dipahami bagaimana caranya. Tetapi sekali lagi, cakrawala kemungkinan itu terlalu luas.
 
Bangunan-bangunannya punya kelok arsitektur yang begitu anggun. Tidak terlalu tinggi seperti ingin mencakar langit. Maksimal delapan lantai. Namun setiap sudut dan tingkatannya seperti menyungging senyum kemenangan.

Jalan-jalan raya dilukis serupa permadani. Warna merah dan emas mendominasinya. Seolah-olah akan menyambut raja diraja. 

Lampu-lampu jalan berdiri di pinggir-pinggir dengan tekstur membungkuk, seperti ingin memberi penghormatan terbaik. 

Taman kota bertebaran di sekeliling kota, diatur berjejer seperti membentuk abjad V. Mereka bilang V itu Veci, artinya menang. Ada satu kolam di setiap satu taman. Isinya ikan mas. Di tengah kolam selalu ada patung dan air mancur. Setiap patung dilumuri emas. Bukan patung manusia, tetapi malaikat. Malaikat tidak pernah kalah. Mereka percaya itu. Entah itu semacam doa atau pengharapan.

Kota itu tidak pernah sepi. Selalu ada pesta yang menghiburnya. Di setiap sudut, orang-orang kalah itu menari tanpa henti. Hingar-bingar musik seperti menempel ketat setiap gerakan. Tidak ada satupun dari antara mereka yang jadi penonton. Semua terbenam dalam hiruk pesta yang begitu pikuk. Gelak tawa terselip di antara beberapa tegukan anggur. Sesekali mereka tiba-tiba mematung ketika musik tiba-tiba lenyap. Semua sudah tahu. Itu semacam kode. Sesaat kemudian, pasti ada yang maju dan mulai melempar beberapa cerita. Biasanya cerita tentang kekalahan. Tetapi narasinya penuh lelucon di sana-sini. Seperti perangkap. Perangkap tawa. Lalu gelak tawa, kali ini agak panjang, kembali terselip di antara beberapa tegukan anggur. Semua tertawa. Lagi-lagi tidak ada yang jadi penonton. Rupa-rupanya, menertawakan kekalahan adalah sebuah kemenangan. Barangkali.

Kota itu benar-benar sibuk dengan pesta yang seolah-olah tidak punya awal, apalagi akhir. Siang jadi tidak berbeda dengan malam. Namun demikian, tidak pernah ada yang punya niat bersibuk diri dengan soal mana siang dan mana malam. Atau mana di antara keduanya yang paling nyaman, paling benar. Siang dan malam sama-sama punya ruang dan cara berada masing-masing, bagi mereka. Seperti halnya soal beragama dan tidak. Seperti halnya soal menikah dan tidak. Seperti halnya soal homoseksual dan tidak. Seperti halnya soal awal dan akhir, atau soal idealisme dan materialisme. 

Pesta, tarian, lelucon, dan anggur lebih penting. Itu semacam terapi bagi orang-orang di kota itu. Mereka mabuk pesta, tarian, lelucon, dan anggur. Mabuk semabuk-mabuknya hingga tidak ada lagi ruang dan waktu tersisa untuk sekedar mengutuk kekalahan. Kekalahan punya ruang eksistensi sendiri. Mereka tinggal di dalamnya dan seolah tidak sekalipun berpikir untuk pindah. Sampai suatu ketika...

(bersambung)
 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer