Film untuk Perubahan
Mari meninggalkan pemahaman umum yang menempatkan film semata-mata sebagai sebuah karya seni, untuk kepuasan artistik belaka. Kini, film juga menjelma sebuah medan atau alat propaganda untuk kepentingan kuasa (power to influence) tertentu. Sebabnya bisa diungkapkan secara sederhana seperti ini: film adalah sebuah kesenangan (pleasure) yang lengkap dan menarik dalam bentuk tampilan audio-visual untuk mengutarakan maksud atau agenda tertentu, dan selanjutnya, mempengaruhi kesadaran yang menontonnya (society) untuk “bersepakat” melakukan sesuatu “di bawah panduan” maksud atau agenda tadi.
Contoh buruk yang paling mudah disebutkan adalah film Pengkhianatan G30S/PKI yang diproduksi
dan dipropagandakan secara rutin dan luas oleh Pemerintahan Orde Baru selama
hampir dua dasawarsa. Selama itu pula dan bahkan setelah Orde Baru runtuh pun,
film itu menghasilkan klaim dan stigma nasional turun-temurun bahwa PKI adalah
pihak jahat (bad guy) dan musuh negara
Pancasila yang mesti “dituntaskan sampai ke akar-akarnya”. Lihat efeknya
setelah itu, eksklusi sosial keturunan PKI terjadi di hampir seluruh pelosok
bangsa ini. Di bagian lain yang paling dasar dan dianggap menyimpan bahaya
laten, komunisme dan ideologi sosialis diklaim sebagai barang haram
(subversif).
Dalam skema demikian, film memproduksi dan membawa serta
wacana (discourse) tertentu untuk
kepentingan tertentu. Atau dari sudut lain, ia bahkan menjadi medan diskursif
tempat bertemunya segala macam wacana dengan segala macam kepentingan di
baliknya. Jadi, hal ini kemudian membuka peluang untuk menanamkan ide-ide,
gagasan-gagasan, cerita-cerita, dan wacana tentang perubahan sosial ke dalam
film. Selanjutnya, melalui produksi dan kampanye yang rutin-luas—yang memenuhi
ruang publik dan menjadi wacana publik—film dengan segala kemewahannya
berpotensi sangat besar untuk mendorong perubahan sosial.
Komentar
Posting Komentar