Panorama
Sadar atau tidak, barangkali tidak ada yang pernah membayangkan
sebelumnya bahwa suatu ketika, seperti saat ini, panorama (view) bisa jadi sesuatu yang sangat mahal. Apalagi
jika itu dikemas dan didandani dengan sangat menarik. Jika dulu panorama adalah
“barang biasa”, maka kini ia menjelma “barang berharga”. Angkat contoh,
panorama matahari terbenam (sunset view).
Lebih khusus, sunset view yang
terhampar di atas pantai. Sunset dan
pantai kemudian jadi semacam padanan yang punya magis khas, sekaligus tentu saja
menjual sebagaimana sekarang. Sebagaimana di Labuan Bajo dan sekitarnya. Namun
sayangnya, perubahan itu terus terang agak lambat disadari oleh kita-rakyat.
Pemaknaan baru soal “manfaat ekonomis” atas panorama menjadikannya medan perebutan bagi banyak
kepentingan, terutama kepentingan ekonomi. Secara diam-diam, para pemodal yang
jeli menangkap peluang ini segera saling bersaing “mematok” lokasi-lokasi (spots) strategis yang punya panorama memikat. Baik itu “mematok” secara
sembunyi-sembunyi, maupun terang-terangan. Baik legal, maupun ilegal. Dan sayangnya, sekali lagi, perebutan
tersebut terus terang agak lambat disadari oleh kita-rakyat.
Barangkali karena cara kerjanya yang canggih dan
senyap, seringkali hanya bentuk akhirnya yang mampu terlacak. Amati saja
hotel, restoran, kafe, resort, dan model investasi-investasi lain yang
bertebaran di Labuan Bajo dan pulau-pulau sekitarnya. Dari Pantai Pede sampai
Wai Cicu. Dari Puncak Waringin sampai Kampung Ujung. Dari Labuan Bajo sampai
Pulau Komodo. Cermati lokasinya. Dan lihat, hampir semua berada di titik yang
punya panorama mengesankan.
Agar makin terang, pola demikian
bisa dipakai sebagai penunjuk jalan untuk
membaca discourse Labuan Bajo-Manggarai
Barat sebagai salah satu destinasi pariwisata dunia. Dan jika boleh menarik
kesimpulan awal, maka sesungguhnya Labuan Bajo dan sekitarnya sedang bergerak menjadi
“area tambang” baru. Pariwisata menjadi pintu masuknya. Lewat pariwisata, yang secara
politis ditahbiskan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menjadi leading sector, Labuan Bajo dan
sekitarnya sedang dieksploitasi senyap-senyap.
Potensi alam, budaya, dan seluruh kekayaan lain (termasuk panorama) sedang
digali, dikeruk, dan dikuasai untuk kepentingan ekonomi. Di sini, ekonomi-politik menjadi kombinasi angka yang sempurna untuk membuka gembok menuju seluruh potensi kekayaan Labuan Bajo
dan sekitarnya.
Masalah utamanya persis terletak di “kehendak untuk menguasai” yang seringkali disembunyikan pemodal. Juga “kehendak untuk mengambil
keuntungan” yang seringkali disamarkan pemerintah. Jelas rute berpikirnya,
ketika ada yang “menguasai” maka hampir pasti ada yang “dikuasai” dan ketika
ada yang “untung” maka hampir pasti ada yang “tidak beruntung”. Dalam konteks
itu, ketika pemodal dan pemerintah posisinya sudah secara jelas dipetakan,
pertanyaan yang pantas muncul pastilah: siapa
yang dikuasai dan tidak beruntung?
Sekiranya jelas bahwa rakyat adalah jawaban yang paling
sering muncul untuk pertanyaan terakhir itu. Jika demikian, maka mestilah kita-rakyat
mulai membangun kesadaran kritis dan mengambil sikap untuk menentukan nasib sendiri:
tidak lagi menjadi yang dikuasai dan tidak beruntung. Kita-rakyat mesti
menjadi otoritas yang menjamin kesejahteraan kita sendiri. Dan barangkali aksi
penolakan terhadap upaya privatisasi Pantai Pede, misalnya, menjadi langkah
awal. Sebab di Pantai Pede juga ada panorama yang terlalu berharga untuk
dilepaskan.*
Komentar
Posting Komentar