AKAR

Rupanya kemarau yang kerontang ini akan menetap lebih panjang.
Padahal aku sudah meyakinkanmu berkali-kali bahwa sesaat lagi hujan datang.
Hingga pada akhirnya engkau mencabut keyakinanmu.
Sampai ke akar-akar paling ringkih sekalipun.
Sebab menurutmu lebih bijaksana bila keyakinanmu mati dicabut,
Daripada ia disirami harapan-harapan yang rentan menjerat akar-akarnya hingga busuk.
 

Aku jadi serba keliru.
Seperti kehabisan peluru.


Aku lalu terjun ke dasar laut paling jauh.
Coba memompa seluruh airnya agar naik membentuk gumpal-gumpal mendung.
Barangkali setelah gumpal-gumpal itu mengalami masalah dengan berat badannya,
Bulir-bulir air di perutnya dapat tumpah kembali ditarik gravitasi.


Namun engkau membisikkan pesan paling getir yang tak pernah kuramalkan,
Akar-akarmu sudah tak butuh air.


Aku langsung terjerembab seperti hujan.
Ke dasar laut paling gelap.
Berharap mengirup udara.
Namun justru bau logam yang masuk menghujam sampai paru-paru.
Ternyata itu bau peluru yang tadi kupikir sudah habis.
Ia engkau hembuskan.
Dalam pesan.
Barusan.


*Watulangkas, pukul tiga pagi pada 11 November

Komentar

Postingan Populer