Televisi

“Tuhan sudah lama meninggalkan negeri ini, Lalong”, Aku berujar sambil mematikan televisi. Entah Ia paham maksud kata-kataku atau tidak, namun itu cara termudah bagiku untuk sekaligus menutup pembicaraan kami. Seolah-olah sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

“Sudah jam sepuluh. Saatnya tidur”, Aku kembali mengambil alih dengan nada cenderung tegas.

Sorot mataku memaksa. Aku menampilkan sosok ayah yang otoriter, sesuatu yang nyaris selalu kuhindari. Tetapi apakah ada pilihan lain?

“Besok kita lanjutkan lagi”, kali ini Aku agak sedikit membuka tawar-menawar karena kulihat Ia begitu enggan bergeser dari tempat duduknya.

Mungkin karena ia belum mendapatkan kesimpulan apapun dari pertanyaan-pertanyaannya. Keingintahuan seperti tuhan baginya. Itu sifat khasnya. Perlu sedikit bujuk rayu untuk membuatnya tergoda dan semacam menyerahkan diri pada perintahku.

“Selamat tidur, Bapa”, Lalong mengucapkannya dengan air muka sedikit kecewa.

Langkahnya berat. Seberat pertanyaan-pertanyaannya. Ia kemudian menghilang di balik pintu kamarnya.

Aku lalu menoleh pada televisi. Seolah-olah ingin membuka dialog tentang pertanyaan-pertanyaan Lalong. Namun televisi 29 inchi keluaran Jepang itu tak memberi respon sedikitpun. Ia semacam mati. Tetapi bukankah ia memang mati? Ya, benar. Aku yang membuatnya mati dan akhirnya ia memang mati. Ah, jika Aku yang membuatnya mati, maka berarti sebelumnya ia hidup?

Tak ada dialog, hanya monolog pikiranku. Aku lalu memilih tidur tanpa membawa serta monolog yang penuh labirin itu. Televisi dan segala monolog racau itu kutinggalkan begitu saja di pinggir-pinggir alam bawah sadarku. Siapa tahu mereka berdua akan terperosok jatuh ke dalamnya. Lalu kemudian benar-benar mati. Seperti mati sungguhan. Namun kemudian Aku ingat, alam bawah sadar tak pernah bisa dipercaya. Ia memang menyimpan keduanya dalam peti mati lalu menguburkannya, seolah-olah keduanya mati sungguhan. Tetapi siapa sangka, suatu waktu, secara mengejutkan ia akan membangkitkan keduanya begitu saja. Entahlah.

Sebelum sampai ke kamarku, kuputuskan untuk menengok Lalong. Aku selalu begitu. Seperti sebuah ritual, Aku akan selalu menyempatkan diri menengok putra semata wayangku itu sebelum tidur. Bagiku, meski Ia masih tercatat sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama, namun caranya berpikir dan melihat sesuatu sangat berbeda. Seperti melampaui generasinya. Mendapatkan gambaran ketika Ia sedang tertidur seperti memberiku pengalaman batin yang begitu menyejukkan. Juga sekaligus membuatku mampu berdamai dengan segala kondisi hidup yang runyam.

Namun malam ini sedikit berbeda. Aku terlanjur  menangkap rupa televisi dan beberapa baris monologku bergelantungan di sudut pertemuan antara mata dan hidung lancipnya. Ia barangkali tak merasakan itu sebab tidur pulasnya begitu maksimal. Sesekali Ia seperti tersenyum. Dan senyuman itu seperti menyungging sebuah pertanyaan:

“Apakah televisi memang cuma kotak mati?”

***

Lalong pernah begitu menggandrungi televisi. Itu berlangsung hingga Ia selesai Sekolah Dasar. Persisnya, pada saat Ia belum jatuh cinta dan menyerahkan hampir segala waktunya pada buku. Saat itu, seperti anak-anak lain seusianya, Ia semacam kecanduan televisi. Susah sekali baginya untuk melewatkan waktu tanpa menonton. Ia seperti terkagum-kagum ketika berada di depan televisi. Pikirannya takjub.

Namun kini situasi agak berbeda, Ia menonton televisi hanya agar bisa menghabiskan waktu bersamaku setelah seharian tak bertemu. Barangkali. Aku hanya menduga-duga.

Awalnya Aku berasumsi bahwa Lalong takjub pada apapun yang ditampilkan di film-film kartun dan acara-acara anak lainnya. Ia sama seperti anak-anak lain seusianya, menurutku. Aku lalu memberinya label “normal”. Tetapi lamat-lamat, Aku menyadari bahwa Aku telah membuat kekeliruan. Ketakjuban yang muncul di permukaan tatapannya itu pada akhirnya tidak ditujukan pada kelucuan atau apapun yang berhasil dibingkai televisi. Namun ketakjuban-ketakjuban itu sesungguhnya  Ia alamatkan pada cara kerja televisi. Lebih tepatnya,  bagaimana nalar di belakang televisi bekerja. Aku baru menyadari hal itu dari pertanyaan-pertanyaan yang ia todongkan kepadaku.

“Kenapa itu semua ada di dalam tv, Bapa?”, Lalong memulai dari situ.

“Mereka datang dari mana, Bapa? Bagaimana mereka bisa masuk?”, kali ini Ia datang dengan dua pertanyaan. Persis tokoh kartun favoritnya yang datang dengan dua pedang berlumuran pertanyaan, satu di tangan kiri dan satu lagi di tangan kanan. Aku terpojok.

“Siapa yang memasukkan mereka ke dalam sana dan untuk tujuan apa mereka ada di dalam sana?”, tanya Lalong sambil mengarahkan telunjuk ke televisi.

“Bagaimana kalau saya bergabung dengan mereka di dalam sana, Bapa?”, kali ini Ia setengah berbisik, lalu kemudian tertawa lebar sambil menghilang begitu saja.

Ia dan Aku tahu bahwa pertanyaan terakhir itu adalah sekaligus ide yang buruk. Namun Aku tak lantas berhenti pada kesimpulan itu. Aku menangkap cara nalarnya bekerja yang menurutku brilian untuk anak seusianya. Mungkin ini hasil percampuran kecerdasanku dan istriku, Aku mencoba berargumentasi. Ada sedikit nada sombong terselip di situ. Tetapi sesungguhnya Aku tak pernah paham.

***

Lalong adalah tipikal arkeolog-politis. Aku baru menyadarinya kemudian. Sebagaimana arkeolog, Ia selalu menggali detail demi detail  untuk memperoleh pengetahuan. Atas nama keingintahuan yang semacam tuhan baginya, Ia terus menggali. Menggali apa saja. Pertanyaan jadi semacam sekop baginya. Dan sekop itu berupa pertanyaan-pertanyaan seputar nalar di balik “adanya” sesuatu dan kondisi-kondisi yang memungkinkan sesuatu itu “ada”; tentang bagaimana sesuatu bisa ada, terjadi, bekerja, dan dibahasakan. Seperti ketika para arkeolog melakukan penggalian candi Borobudur, mereka kemudian bisa memeriksa segala sesuatu tentang masyarakat seputar candi pada abad ke-9: cara hidup masyarakat, tingkat intelektualitas, pola kekuasaan, pola relasi sosial-ekonomi-politik, teknologi, seni dan budaya, agama dan kepercayaan, dan sebagainya. Lepas dari situ, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana itu semua bisa “ada” atau terjadi demikian. Lalu terakhir, ketika semua sudah ditemukan dan dijawab, pertanyaan pamungkas yang tidak boleh dilewatkan sedikitpun adalah semua itu kemudian akan digambar-bahasakan untuk kepentingan apa dan siapa. Tentu, itu pertanyaan politis. Maka lengkaplah label arkeolog-politis tadi.

Begitulah Lalong kini. Ia memeriksa nalar tentang televisi dengan pertanyaan-pertanyaan mengunci. Dan itulah yang terjadi  malam kemarin ketika Aku akhirnya dengan terpaksa memaksanya tidur. Aku masih ingat betul rekaman pembicaraan kami saat itu. Termasuk saat Aku meniru sebuah baris dialog dalam film Blood Diamond bahwa Tuhan sudah lama meninggalkan negeri ini. Itu salah satu film kesukaanku dan Lalong.

***

“Bapa, kenapa Bapa suka sekali nonton berita?”, Ia kembali menggali isi kepalaku.

Matanya tak beranjak sedikitpun dari televisi sekalipun hanya untuk menegaskan pertanyaannya tadi. Malam ini Aku, ditemani Lalong, sedang memperhatikan sebuah kanal berita dalam negeri.

 “Karena dari berita kita bisa tahu apa yang terjadi di luar sana”, Aku mencoba memberi jawaban diplomatis.

Diam-diam, ini juga caraku merangsang nalarnya bekerja kritis.

“Berarti  di luar sana banyak orang jahat kalau begitu, Bapa?!”, Ia menyimpulkan.

“Kenapa bilang begitu?”, Aku setengah menyelidik.

Sesungguhnya Aku sudah menebak arah pembicaraannya. Namun Aku penasaran dengan cara nalarnya mengambil kesimpulan.

“Karena tiap kali kita nonton berita, yang ada hanya berita korupsi, suap, politik uang, rebut-rebutan kekuasaan, penggusuran, curi haknya masyarakat, jual manusia, dan sebagainya, dan sebagainya. Yang namanya kejahatanlah pokoknya, Bapa. Hanya orang dan sistem yang jahat kan yang melakukan semua itu?!”, ia membuatku terkesan. Darimana semua itu didapatkannya. Aku takjub bukan kepalang. Aku benar-benar tak menyangka amatannya begitu dalam. Entahlah.

Belum sempat berhenti takjub, Ia kembali merapatkan pedang pertanyaannya tepat di ujung leherku:

“Atau semua itu hanya mau bilang kalau kita ini seperti binatang kah, Bapa?”, Aku terperanjat bukan main. Bagaimana anak ini bisa sedalam itu menggali pengetahuan tentang manusia dan semua yang ada di baliknya.

Aku diam menatap televisi. Memikirkan jawaban. Lalong menunggu. Tatapannya penuh rasa ingin tahu.

“Sebentar. Itu pertanyaan sulit, nana. Itu pertanyaan untuk profesor. Bapa belum jadi profesor. Jadi butuh waktu untuk berpikir”, Aku coba menghibur sekenanya. Mataku tetap menatap televisi, berpura-pura menonton. Setidaknya itu pancingan agar matanya yang sejak tadi menatapku dialihkan ke televisi. Dengan pengalihan itu, Aku dapat lebih leluasa berpikir mencari jawaban.

Tiba-tiba Aku teringat animale ratio, manusia adalah binatang yang berpikir. Aku mencoba mencernanya kembali, apakah manusia berpikir sedangkan binatang tidak? Atau keduanya “berpikir” namun masing-masing “berpikir” dengan cara yang berbeda.

Tetapi apakah “berpikir” itu?, Aku berfilosofi.

Lalu apakah manusia sesungguhnya adalah binatang yang berpikir? Ah, jangan-jangan manusia hanyalah manusia. Ia tidak berpikir. Atau tidak punya kesadaran bahwa ia bisa berpikir.

Atau bahkan yang paling ironis, manusia pura-pura berpikir namun sekaligus menolak disebut binatang. Namun, alih-alih demikian, belum tentu juga binatang yang “berpikir” sudi disamakan dengan manusia macam itu.

***

Lalong sudah terlelap begitu Aku menoleh. Ia menunggu terlalu lama sepertinya.

Televisi masih tetap tergeletak di depan kami dengan sebuah tatapan aneh. Seperti sedang mengolok-olok. Sejurus kemudian, ada begitu banyak tanda tanya yang berjejalan dan melompat keluar dari layarnya. Sontak Aku terperanjat, itu adalah tanda tanya yang sudah lama hilang dari peradaban manusia. Tanda tanya, yang baru kusadari, selama ini menjadi selubung pada selaput pada mata Lalong.***



Catatan kaki:
1) Judul film ini merujuk pada terjemahan berlian berdarah yang ditambang di wilayah perang saudara di Sierra Leone-Afrika dan keuntungan penjualannya dipakai untuk membiayai perang-konflik. Dan kondisi demikian tentu saja memberi profit, baik bagi para “Komandan Perang” (warlord) maupun perusahaan berlian multinasional yang bisa jadi berada di bawah satu kendali. Film ini dibintangi Leonardo di Caprio.

2) Panggilan untuk anak atau saudara laki-laki dalam Bahasa Manggarai.

Komentar

Postingan Populer