Perempuanku, Di Antara Dua Lembar Surat dan Pena Tinta Merah
Suatu waktu,
Ia meminta untuk didengarkan. Hanya didengarkan. Hingga tak ada alasan untuk
menolaknya sama sekali. Ia pun lalu mulai bicara...
Masih dengan dua lembar kertas dan pena tinta merah di tangan. Aku belum juga mulai.
***
Entah kenapa, pikiran itu datang begitu saja, menulis. Menulis apa
saja yang tertahan di bibirku. Menyerahkan sepenuhnya semua yang tertahan itu
pada kata-kata. Mungkin itu lebih baik, meski tidak mudah memang. Sebab tidak
semua bisa begitu saja dikatakan. Apalagi dituliskan.
Yang tersisa di meja kerja hanya sebuah notes kecil. Empat belas kali tujuh sentimeter ukurannya. Entah
angka-angka itu berarti apa. Aku tidak berniat bersibuk diri dengan itu.
Kuputuskan mengambil dua lembar yang persis di tengah. Itu dua lembar terbaik,
setidaknya menurutku. Kertasnya begitu utuh, licin, tanpa lecek. Sempurna.
Sekali lagi, setidaknya menurutku.
Sebuah pena dengan tinta
merah adalah satu-satunya yang ditemukan tanganku ketika meraba-raba di dalam
laci meja kerja. Tidak ada pertanyaan. Tinta merah atau tinta hitam atau tinta
warna apa saja itu tidak ada bedanya untuk saat ini. Mereka semua eksis. Yang
penting, aku menulis.
Aku ingin menulis surat. Bukan puisi, bukan sajak, bukan cerita.
Tetapi surat. Meski mungkin bahasanya, jika ingin menebak, bisa jadi sangat puitis
dan mirip cerita. Ah, entahlah. Itu hanya tebakan. Toh, aku belum mulai.
Aku terlalu ingin menulis surat untuk dia yang namanya begitu lembut
di telinga. Namun bisa jadi ini surat pertama sekaligus yang terakhir. Serupa
jurus pamungkas. Sebab aku sudah mengerahkan segala kemampuan terbaik untuk
mencuri apa segala di ruang-ruang hatinya, juga apa semua di seluruh medan
pikirannya. Biar tidak ada lagi yang dirasakan dan dipikirkannya selain aku. Namun,
kenyataan mengatakan sesuatu yang di luar rencanaku. Mencuri darinya begitu
sulit dilakukan. Sulit minta ampun.
Diam-diam aku berpikir, seolah-olah selalu saja ada sesuatu yang
tidak bisa kukendalikan. Selalu saja seperti itu. Aku menemukan dia, ya aku
menemukannya. Tetapi berhenti di situ. Memilikinya adalah sesuatu yang berbeda,
sesuatu di luar kendaliku. Pertahanannya terlalu hegemonik untuk dibongkar.
Entahlah. Surat ini jadi semacam jalan terakhir yang tersisa dari
sekian banyak jalan menuju Roma, menuju harapan. Berharap di titik ini dia
menjadi lengkung. Lentur. Sehingga ada celah di hati dan pikirannya yang bisa
kusisipi. Setipis apapun tidak mengapa. Paling tidak, ada.
Masih dengan dua lembar kertas dan pena tinta merah di tangan. Aku belum juga mulai.
***
Aku bertemu dengannya di sebuah pesta. Pesta pernikahan seorang
kenalan, aku ingat betul. Tidak banyak yang bisa kukatakan dari situ. Aku
melihatnya. Di kejauhan. Dia berbeda. Seperti dari kehidupan lain. Menyejukkan.
Seperti energi. Hanya itu.
Waktu kemudian beterbangan pergi. Orang-orang pun demikian, datang
lalu pergi. Masing-masing membawa ceritanya sendiri-sendiri. Kadang ada yang
hinggap lama dan membekas. Tetapi tetap ada saatnya untuk pergi. Mungkin hidup
memang begitu. Nomaden. Tidak ada yang benar-benar menetap. Tidak ada yang
abadi.
Namun suatu kali di suatu siang, dia melintas begitu saja di
pikiranku. Begitu saja. Lalu ingatan-ingatan tentang dia seolah-olah merambat-penuh
di kepala. Pelan-pelan, seperti taktik perang, dia mulai membangun begitu
banyak benteng fantasi di tiap petak wilayah kerajaan pikiranku. Dan bisa
ditebak, selanjutnya dia menguasaiku sepenuhnya. Tanpa perlawanan sama sekali. Dia
serupa hakim yang memegang palu di mahkamah dan aku si terdakwa. Tetapi heran,
aku begitu menikmatinya. Menyejukkan sekali. Persis dirinya.
Diam-diam, aku seolah-olah membangun titik normal baru dengan kemahakuasaannya
di pikiranku. Namun demikian, dalam logika yang sama, ketidakmahakuasaannya kemudian
menjadi sesuatu yang abnormal. Sehingga sejak saat itu, aku ingin menemukan dia
kembali. Ingin betul. Agar kenormalanku menemukan formulanya.
Selang beberapa waktu, aku benar-benar menemukannya dalam sebuah
percakapan di internet. Dari situ, semua kembali bermula. Aku menyapa, dia
membalas dengan keramahan yang begitu mewah. Padahal sebelumnya aku sudah siap
menerima kenyataan bahwa tidak akan ada respon sama sekali darinya.
Setelah internet, aku dan dia sepakat memindahkan percakapan ke
telepon. Sekian lama aku dan dia bertukar suara lewat telepon. Cerita datang
dan pergi. Namun suaranya tetap tinggal. Mungkin karena aku merekamnya dengan
begitu telaten di pikiranku.
Begitu seterusnya aku dan dia, hingga pada akhirnya keadaan
menjadi agak berbeda. Entah kenapa. Saat aku tiba di puncak ketergila-gilaan,
ketergila-gilaan karena seluruh manifesto-nya,
dia seolah masih saja jauh tertinggal di belakang dengan segala situasi
antah-berantah yang tidak kupahami. Semakin aku berusaha menggempur hati dan pikirannya
dengan segala cara, semakin serupa benteng menjulang dia menjadi.
Telepon dan
pesan singkatku tidak lagi ditanggapinya dengan antusiasme seperti
kemarin-kemarin. Tidak seperti saat semuanya bermula, meski masih tetap dengan
keramahan yang anggun khas dia. Sangat taktis.
Apakah ini soal ritme? Ah, barangkali dia tidak mengikuti ritmeku.
Namun sebentar, jangan-jangan aku yang tidak mengikuti ritmenya. Ah, antiklimaks.
Pernah sekali sore aku mengiriminya buku. Berharap itu jadi
semacam kejutan karena kudengar dia suka membaca. Jadi kupikir akan terasa
romantis jika aku melakukannya. Namun kemudian justru aku yang sebaliknya terkejut.
Ia memang suka, tetapi itu sama sekali tidak mengubah situasi. Ia seperti
menahan segala kemewahan perasaan yang dimilikinya. Mungkin.
Sampai di titik itu, dia sedikitpun tidak melengkung seperti
harapanku. Seperti tidak ada celah setipispun, baik di hati maupun di
pikirannya untuk sekedar kusisipi. Aku jadi ingin mengibarkan bendera putih. Tanda
menyerah. Tetapi sebelum penghabisan, aku ingin menulis surat. Mengatakan semua
yang tersisa hingga tidak ada lagi yang tertinggal.
***
Masih dengan dua lembar kertas dan pena tinta merah di tangan. Aku
belum juga menemukan kata-kata ajimat untuk memulai menulis. Dulu, semasa
sekolah, aku adalah salah satu yang terbaik ketika menulis surat. Tetapi kini,
kemampuan itu seperti tiba di batas terjauhnya. Tanganku kelu. Ingatan tentang
dia seolah menahan laju pena. Seperti menutup semua ruang di dua lembar kertas
itu.
Jujur, aku belum pernah menulis surat untuk perempuan seperti dia.
Dia terlalu istimewa. Terlalu. Namun aku sudah kehabisan cara mengatakan yang
tersisa. Aku harus tetap menulis. Sebagai penghujung segala tentang dia.
“Perempuanku...”
Tanganku berhenti sejenak. Seperti ingin menoleh ketika akan pergi
jauh. Menoleh pada apa semua di belakang sebelum melambaikan tangan dan bilang
sampai bertemu.
Namun ternyata tanganku tetap berhenti. Sama sekali tidak ingin
beranjak dari dua kata yang sudah kuukir tadi. Seolah-olah dua kata cukup.
Cukup untuk mengatakan segala-gala.
***
Ceritanya
berhenti di situ. Ia lalu terdiam. Seperti kembali memintaku untuk mendengarkan.
Mendengarkan kebisuannya. Dan sekali lagi, tak ada alasan untuk menolak...
Watulangkas,
13 April 2014
Komentar
Posting Komentar